Ada sepasang burung yang berkicau indah pagi ini, mengantarkan sang mentari
naik ke jalan peraduannya, mendamaikan hati yang berkecambuk rasa. Bersamaan
dengan langkahan kaki Dikara yang keluar dari rumahnya, seorang pemuda yang
selalu berpenampilan rapi, yang selalu menyebut sekolahnya dengan kata
‘Madrasah’ dan terkenal sebagai aktifis di sekolahnya. seperti biasa, pagi itu Dikara
berangkat ke Madrasahnya menggunakan sepeda yang telah lama dia miliki, dengan
wajah sumringah serta semangat penuh harapan dia mengayuh sepedanya melesat
menuju tempatnya mencari ilmu serta merangkai harapan itu.
“Hay Tom, PR udah dikerjain belom?” Sapa Dikara kepada Zoltom sambil mengayuh
sepeda lalu menyalipnya
“PR apa ra? Saya rasa ga ada PR dari guru?!” teriak Zoltom kepada Dikara
yang melesat meninggalkannya
Dikara terus mengayuh sepedanya diikuti Zoltom yang berada tidak jauh
dibelakang dikara
Sesampainya di Madrasah Dikara langsung dicegat Zoltom, dengan muka yang
agak cemas Zoltom berkata “ PR apa ra? Aku tak sempat memikirkannya” ungkap Zoltom.
“PR suruh bawa buku, hahaha” Dikara mengejek Zoltom yang sedang penuh dengan
kegelisahan karena dikira beneran ada PR, sedangkan Zoltom hanya merengut dan
agak kesal kepada Dikara, “Pagi pagi udah pasang muka tegang, bahagia dong tom,
kan jadi keliatannya enak, sumringah, yeilehh ini hanya fiktif belaka tom kamu
jangan marah ya..” rayu Dikara sambil menuntun sepedanya memasuki gerbang
madrasah. “iya ra, emang aku tegang ya? Hahaha” sahut Zoltom balas mengejek. Teett
teeet teet bel Madrasah berbunyi, setelah Dikara meletakkan sepedanya dia
langsung bergegas masuk ke kelas bersamaan dengan Zoltom. Sesampainya dikelas
suasana sudah mulai
ribut karena kelas dikara diisi dengan cowok semua, jadi
tak heran jika kelas sangat sulit untuk diatur kondusif. Namun hal ini tidak
bermasalah bagi seorang Dikara, karena Dikara adalah seorang tipe yang pandai
mencari inspirasi, jadi tak salah jika suasana kelasnya yang bisa dibilang setiap
hari seperti pasar hewan ini dapat menjadi suntikan semangat bagi Dikara, namun
entah bagi teman yang lain. Di sisi lain, teman teman Dikara yang sudah
berkumpul di kelas sedang asyik membahas tentang kerusakan moral bangsa yang
sedang melanda, jangan kagum, teman teman Dikara ini memang banyak yang
memiliki pemikiran yang kritis, argumenis, serta realistis, walaupun semalas
apapun mereka, mereka tetap peduli dengan keadaan bangsanya. “Malam tahun baru
bukannya pada muhasabah atau mengkoreksi diri kok malah bakar bakar ayam,
menurutmu bagaimana jang?” tanya Gibran kepada Jajang, “Bener juga tuh, saya
juga ga habis pikir kenapa hal hal seperti itu bisa menjadi tradisi di negri
kita ini” balas Jajang keheranan, “ya itu mungkin yang diajarkan nenek moyang
kita jang, toh kalau itu dosa yang nanggung juga yang mengajarkan dulu” sahut Pandu
dengan santai,”ehh tapi pepatah mengatakan, kepala ular putus, tubuhnya tidak
bisa bergerak, berarti kalau nenek moyang kita yang kena dosa kita pasti akan
kena juga” sanggah Enjang, “Iya juga ya, ah tapi entahlah, intinya kita jangan
sampai memanfaatkan moment itu untuk hura-hura” sambung Gibran. Tiba-tiba Dikara
menghampiri tempat diskusi mereka di belakang bangku kelas, Dikara memang sudah
mengupingnya dari bangkunya yang berada di posisi tengah. “Menarik juga yang
sedang kalian bicarakan kawan, memang cara merayakan tahun baru di khalayak
umum saat ini menurut saya aneh” ucap Dikara sambil menghampiri kawan-kawannya,
“Iya ra, aneh kaya semua khayalanmu, hahaha” ungkap Helmi mengejek Dikara
sehingga membuat semua temannya ikut tertawa. Dikara juga dikenal sebagai siswa
aneh yang memiliki khayalan serta impian tingkat dewa, maksudnya dia memiliki
khayalan yang sangat tinggi, sehingga kadang teman-temannya menertawakan apa
yang dibayangkan Dikara. “Khayalan adalah awal dari mimpi, sedangkan mimpi
adalah awal dari kehidupan, jika kamu tak mempunyai khayalan niscaya
mimpi-mimpimu akan sirna dan hidupmu akan hampa” cegat Dikara dengan gaya
pujangga, “widiih..” teman-teman Dikara tersenyum keheranan. “Sudah sudah,
menurutmu bagaimana ra tentang perayaan tahun baru?” ucap Jajang mengalihkan
pembahasan, “Mengenai itu, saya lihat entah disana entah disini pada saat
pergantian malam tahun baru, ada yang main bakar-bakaran, ada yang sok eksis di
medsos dengan kata-kata bijak dan lain sebagainya, tapi entahlah.. toh itu hak
mereka untuk merayakan momen itu” jawab Dikara.
Tiba-tiba guru masuk dan memaksa diskusi itu diakhiri tanpa sebuah solusi,
semua siswa mengikuti pelajaran dengan agak hidmat dibumbui sedikit gaduh, tapi
itu tidak menimbulkan masalah bagi guru yang penuh dengan toleransi itu.
Bel pulang berbunyi, Dikara dan Zoltom bergegas menuju parkiran untuk
mengambil sepeda mereka untuk kemudian
pulang. “Hey tom ra, ikut diskusi lagi ga?” ajak Helmi, “Maaf hel kami pulang
dulu aja” Tolak Zoltom pengertian karena melihat Dikara sudah terlihat sangat
lapar, “Kamu pengertian juga tom” sahut Dikara sambil tersenyum kepada Zoltom,
“Yaelah aku itu paham sifatmu, jam siang bolong begini kamu pasti udah lapar
tingkat dewa” ucap Zoltom, “Hahahaha..” Dikara tertawa. Mereka berdua asyik
mengobrol sambil menuju parkiran, tiba-tiba di lorong kelas mereka bertemu
dengan Arale, sontak Arale langsung menyapa Dikara yang sedang asyik bercanda
dengan Zoltom. “Siang Dikara..” sapa Arale disertai senyum manisnya. Arale
adalah cewek yang tergila gila dengan si tukang khayal Dikara, dia adalah cewek
tercantik di Madrasah, selain cantik, dia juga pintar serta sholehah, tak heran
dia menjadi incaran banyak cowok di Madrasah ini, namun beda dengan Dikara, justru
Dikara sangat menghindari Arale, mungkin itu juga salah satu faktor Dikara disebut
aneh oleh teman-teman sekelasnya. “Siang juga..” jawab Dikara dengan senyum
palsunya dengan langsung melanjutkan perjalanannya menuju parkiran meninggalkan
Arale. “Eh ra.. aku mau ngomong sebentar” tiba-tiba Arale mencegat Dikara dari
belakang, “Sudahlah ra, temuai dia, kasihan dia” ucap Zoltom. Dengan terpaksa Dikara
berbalik arah dan menemuinya. “Nanti malam kamu ada acara ngga? Tanya Arale
dengan manis, “Kalau buat kamu ga ada Arale” jawab Dikara tegas, “Huh, kok
gitu? Aku cuma mau bilang sesuatu ke kamu lewat sms” gerutu Arale kepada Dikara,
“Emang sekarang ga bisa ya? Tanya Dikara, “Aku malu..” jawab Arale, “Ah sudahlah
buang-buang waktu saja kamu ini, permisi..” Dikara pergi berpaling meninggalkan
Arale. Arale yang kebingungan dengan guncangan dasyat itu tiba-tiba dia berteriak,
“Aku mencintaimu ra!” sontak Arale langsung diam dan menunduk layu. Mendengar
hal itu Dikara langsung berbalik menatap tajam Arale, dia bingung akan apa yang
dimaksud Arale tadi, dia mendekati Arale, perkataan tadi membuat rasa lapar Dikara
hilang laksana noda yang terguyur air, sebenarnya Dikara juga ada rasa kepada Arale,
tapi Dikara punya pertimbangan bijak untuk hal satu ini. dengan sisa-sisa rasa
laparnya Dikara berkata, “Maaf Arale”, “Iya ra, ga papa, tapi itu rasa aku yang
sebenarnya ke kamu, ga papa ra, aku tau kamu tak mencintai aku” sahut Arale
masih tertunduk, “Maaf Arale, kita bahas cinta besok, ketika semua mimpi-mimpi
itu sudah berada di genggamanku” jawab romantis Dikara dengan gaya Herjunot Ali
kepada Hayati. Mendengar hal itu Arale langsung menatap mata Dikara, di samping
mereka Zoltom menyaksikan kejadian langka ini dengan hati sedikit terenyuh. “Kamu
serius ra?” tanya Arale memastikan, “Iya Arale..” jawab Dikara meyakinkan, “Baiklah,
aku akan menunggumu merengkuhku membawa semua mimpi-mimpimu itu, aku akan
menunggumu..” jawab Arale dengan nada lirih dihiasi tetesan air mata yang
mengalir di pipinya, “Percayalah Arale, Allah tak akan pernah mengecewakan
hambaNya yang selalu mendekat kepadaNya, percayalah kita akan bahagia pada
saatnya” sahut Dikara meyakinkan. Di lorong itu mereka berdua berpisah dengan
hati penuh harapan.
Sesampainya di rumah, Dikara langsung berbaring dikamarnya dan sejenak
melihat dinding kamarnya. Arah pandangnya tertuju pada sebuah kertas cukup
lebar penuh tulisan, itulah semua mimpi-mimpi Dikara yang seringkali
ditertawakan oleh setiap orang yang melihatnya. Banyak orang beranggapan semua
yang dituliskan Dikara adalah lelucon belaka, mereka menertawakan Dikara.
Setiap mimpi yang sudah terwujud Dikara lingkari dengan spidol berwarna merah,
dan masih banyak mimpi yang belum terlingkari oleh Dikara. Dan siang itu,
dengan hati yang terguyur rasa, Dikara mengambil pena dan menuliskan mimpinya
yang ke 28, dia menuliskan “Membawa Semua
Mimpi Ini Kepada Arale” itu menunjukan keseriusan Dikara kepada Arale. Hari
demi hari dilewati Dikara dan mimpi-mimpinya satu persatu terwujud menjadi
nyata, dengan harapan cinta serta dukungan orang tua Dikara menghiraukan semua
ejekan dari setiap teman yang melihat mimpi-mimpinya yang terpajang jelas
dikamar itu, “hahaha, mimpi-mimpimu seperti lelucon saja ra, apalagi yang nomer
28, kamu itu aneh..” Ujar Gibran dan kawan-kawannya ketika bermain ke rumah Dikara
suatu hari, “hemm” jawab Dikara dengan tersenyum. Hal semacam itu malah membuat
Dikara lebih menguatkan tekad untuk menunjukan bahwa semua mimpi-mimpinya itu
bisa terwujud.
Hari terus berlalu, Bulan terus berganti, Tahun terus berpacu, mereka semua
telah berpisah dan lulus dari Madrasah. Sampai 10 tahun kemudian, diadakan
perkumpulan reuni di Madrasah Dikara yang dahulu, semua kawan-kawannya hadir
dalam reuni tersebut, ada Zoltom, Jajang, gibran ,dan yang lainnya. Semua
kawannya membahas tentang pekerjaannya dan mereka didampingi oleh istri-istri
mereka bahkan juga ada yang sudah memiliki anak, hanya Dikara saja yang berdiam
diri tanpa didampingi siapapun, “Hay Ra, sini gabung” ajak Jajang kepada Dikara
dari kejauhan, “Oh iya jang” Dikara bergegas menuju gerombolan Jajang. Ternyata
disitu ada teman-teman sekelas Dikara dulu, mereka semua memakai jas rapi, “Bagaimana
kabarmu ra? Tanya Enjang, “Baik njang, kalian semua sendiri bagaimana?” sahut
balik Dikara, “Baik ra, eh kamu masih aneh saja sampai sekarang ya, kamu itu
pembeda, kami semua pakai jas, bawa keluarga.. sedang kamu memakai baju batik
dan sendirian, Dikara, Dikara.. ternyata kamu masih yang dulu” ucap Helmi, “Dimana
istrimu ra?” tanya Gibran, “Eee istriku..” “Oh Ya ra, rencana nanti kita semua
main ke rumahmu ra, ingin silaturahmi sama sekalian kami kan masih penasaran
dengan perkembangan mimpi-mimpimu dulu, hahaha” tabrak Pandu sambil bercanda. “Ohh
iya silahkan kawan” ucap Dikara mengizinkan.
Mereka semua menuju rumah Dikara, dalam perjalanan mereka bercakap-cakap “Oh
ya tom, tadi arale ga keliatan ya? Dia gak hadir apa ya..” tanya Gibran dalam
mobil, “Kurang tahu lho bran, kayaknya sih ga hadir, mungkin sudah dinikahi
sama pejabat jadi dianya sibuk, hahaha” jawab Zoltom. Sampai di depan sebuah
rumah besar bak istana, mobil yang dikendarai Dikara berhenti, “Hey ra, kenapa
berhenti? Mogok kah?” Teriak Jajang keluar dari kaca mobil kepada Dikara, “Engga
jang, kita sudah sampai” teriak Dikara. Teman-teman dikara terheran heran,
apakah iya rumah ini rumah Dikara? Rumah sebesar ini?. Mereka semua masuk ke
dalam rumah Dikara dan memarkirkan mobilnya masing-masing. “Selamat datang
teman-teman, ini adalah gubug deritaku, mimpi yang sempat aku tuliskan dulu,
ayo silahkan masuk..” ucap Dikara kepada teman-temannya. “Ra, kamu ternyata
sangat hebat ya?!” teriak Zoltom kegirangan. Semua teman-teman lama Dikara
masuk dan dipersilahkan duduk di ruang tamu bak tamu sebuah kerajaan. Mereka
lebih terheran heran ketika melihat Piagam Penghargaan yang terpajang di ruang
tamu rumah Dikara yang bertuliskan, “Penghargaan Kehormatan, Penerjemah 9 Bahasa”,
beralih kepada pigura disampingnya, pigura yang cukup besar namun sudah agak
kusam kertas yang berada di dalamnya. Mereka terkejut luar biasa, ternyata
pigura itu berisi coretan semua mimpi Dikara yang dulu pernah ditertawakan oleh
mereka dan semua coretan itu telah terlingkari dengan spidol berwarna merah.
Tiba-tiba Dikara datang, sontak semua teman-temannya kembali ke posisi duduk
mereka semula. “Ra apakah benar itu coretan mimpi-mimpimu yang dulu?” tanya Helmi,
“Iya hel, itu mimpi-mimpiku yang dulu” jawab Dikara sambil tersenyum, “Kau
hebat ra! Kami salah dulu menertawakan semua mimpi-mimpimu” potong Gibran mengapresiasikan,
“Ah tidaklah bran, semua itu butuh kerja keras, kalian tidak salah, hanya saja
aku yang sangat aneh, hahaha” elak Dikara, “Eh berarti mimpimu nomer 28 itu?” Zoltom
langsung bergegas melihat coretan mimipi-mimpi Dikara. Zoltom terpaku dan
berbalik menatap Dikara, tiba-tiba seorang wanita cantik datang dari ruang
tengah menggendong seorang bayi. “Arale?!” teman-teman dikara kompak memanggil Arale,
“ Maaf ya teman-teman, aku baru 7 hari melahirkan anak pertama aku dan Mas
Dikara, jadi belum bisa hadir ke reuni tadi, maaf ya..” ucap Arale memelas, “Dikara
kamu.. wahh pokoknya kamu luar biasa” ucap Zoltom kepada Dikara, “Dia Arale
istriku wahai teman-temanku..” pangkas Dikara sambil tersenyum.
To Be Continued.. (Rizqo Abdillah)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar